
Usaha mikro sangat dekat dengan perempuan. Di satu sisi hal ini memberikan peluang bagi perempuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan produktif, tetapi di sisi lain kondisi usaha mikro itu sendiri senantiasa berada dalam keadaan buruk dan hampir tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Penelitian ini tidak menafikan adanya cerita-cerita sukses perempuan yang memulai usahanya dari skala mikro dan akhirnya dapat berkembang. Tetapi, kebanyakan usaha mikro yang melibatkan perempuan di dalamnya kebanyakan bersifa subsisten. Penghasilan yang diperoleh dari usaha seperti ini sebagian besar habis untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Dalam kasus ini, usaha mikro tidak dapat dipandang sebagai bagian dari capaian pembangunan, tetapi sebagai alat potensial untuk menghasilkan pendapatan dan kesejahteraan (White, 1991: 20).
Marjinalisasi dan eksploitasi adalah dua konsep yang digunakan dalam penelitian ini sebagai faktor-faktor penyebab ketidakberkembangan usaha mikro yang berimplikasi pada bertambah beratnya beban perempuan. Berbagai studi memperlihatkan bahwa pengintegrasian negara-negara sedang berkembang ke dalam perekonomian dunia kapitalis secara keseluruhan telah mengakibatkan kemunduran dalam penciptaan peluang-peluang dan cara-cara perempuan mempertahankan hidupnya melalui jenis-jenis produksi subsisten. Model pembangunan demikian telah mengubah pola hidup masyarakat dan menimbulkan pergeseran struktur ekonomi dan sosial. Sayangnya, proses ini tidak terjadi secara harmonis, tetapi justru menciptakan ketidakseimbangan yang berakhir pada peminggiran (marjinalisasi) kelompok-kelompok miskin pada sektor-sektor yang tidak menguntungkan, seperti usaha-usaha mikro perdesaan. Hal ini juga telah menimbulkan meluasnya feminisasi kemiskinan karena sebagian besar perempuan berada di dalamnya.